Sekitar tahun 1960-an, Suku Dayak Apokayan dan Kenyah yang saat itu berdomisili di wilayah Kutai Barat dan Malinau, hijrah lantaran tak mau bergabung atau tak ingin ikut ke wilayah Malaysia dengan motif dan harapan taraf pendapatan atau ekonomi yang menjanjikan. Rasa nasionalisme mereka inilah yang membuat mereka memilih tetap bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mereka menempuh perjalanan dan berpindah-pindah selama bertahun-tahun, hanya dengan berjalan kaki. Untuk menyambung hidup, mereka singgah di tempat-tempat yang dilaluinya dan berladang. Kehidupan mereka terus berpindah-pindah untuk berladang. Sehingga akhirnya mereka sampai di kawasan Pampang. Akhirnya mereka hidup di Desa Pampang dan melakukan berbagai kegiatan masyarakat, seperti bergotong-royong, merayakan natal, dan panen raya.
Lalu, di bulan Juni 1991, Gubernur Kaltim HM Ardans mencanangkan dan meresmikan Desa Pampang sebagai Desa Budaya. Pemerintah merasa antusias bahwa desa budaya ini memiliki kegiatan positif yang bisa menjadi aset wisata unggulan baik di tingkat lokal bahkan hingga mancanegara.
Setiap tahunnya, digelar acara memperingati ulang tahun Desa Pampang, yang disebut dengan nama Pelas Tahun.
Melalui desa ini, pemerintah berharap desa ini bisa terus memelihara dan melestarikan adat istiadat dan budaya masyarakat Dayak. Desa Budaya Pampang, kini kerapkali dikunjungi oleh tamu-tamu VIP yang datang di Kaltim dan para turis lokal dan mancanegara.
Turis dan para pengunjung merasa penasaran ingin melihat langsung eksotisme budaya, adat istiadat dan sosok masyarakat Dayak, yang memang sudah dikenal dunia.
Selain itu, pemerintah mendukung agar warga Dayak yang menghuni Desa Pampang untuk bisa mengembangkan potensi lain, misalnya saja membuat cindera mata seperti manik-manik dan sejenisnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar